Kami ingin share sedikit mengenai "Perkosaan Pada Remaja" yang ditulis oleh Lies Marcoes (http://www.facebook.com/lies.marcoes) yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Master Medical Antrophology Universitas Amsterdam. Tulisan ini terinsiprasi oleh Kasus Siswa SMP yang menjadi korban perkosaan, tapi malah dikeluarkan oleh sekolahnya pada awal oktober tahun ini. Beritanya bisa dilihat disini.
Pernyataaan Mendikbud M Nuh, bahwa hubungan seksual suka sama suka pada remaja kadang bisa dipalsukan sebagai aduan perkosaan, menuai protes. Ia dianggap membenarkan tindakan sekolah yang mendiskriminasi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dengan sebab yang tidak berdasar. Pernyataan itu juga dinilai membahayakan. Ini bisa jadi presenden buruk untuk kasus-kasus serupa di masa mendatang. Padahal fenomena kekerasan seksual di kalangan remaja tak makin menyusut. Sementara di lingkungan pendidikan, sebagaimana tercermin dari sikap M. Nuh menguat kecenderungan menyalahkan korban. Antara lain dengan mempertanyakan cara perempuan bertingkah laku termasuk dalam bergaul. Tulisan ini hendak menjelaskan di titik mana pernyataan M Nuh keliru dan bahkan tak berbasis pengetahuan.
Pertama, pernyataan itu melanggar prinsip dasar penanganan perkosaan. Prinsip itu adalah bahwa, suatu aduan perkosaan harus diterima sebagai kebenaran sampai ada pembuktian yang berbeda baik secara medis maupun pemeriksaan teknis lainnya. Prinsip ini harus dipegang oleh jajaran penegak hukum, rumahsakit, konselor, pihak sekolah tak terkecuali menteri. Logika sederhana dari prinsip itu adalah bahwa dalam masyarakat yang memberi sanksi sosial begitu berat kepada perempuan (apalagi remaja) terkait dengan hubungan seks, orang akan cenderung menutupi terjadinya hubungan kesual, apalagi perkosaan. Karena perkosaan umumnya bersifat traumatik, pengakuan atas terjadinya perkosaan harus ditanggapi sebagai pertanda baik bahwa korban telah melewati masa trauma dan berhasil keluar dari proses penyangkalannya. Sederhananya, tak ada satupun perempuan yang mau mengakui telah mengalami perkosaan sampai tak ada pilihan lain kecuali mengakuinya.
Tentu tak semua perkosaan disembunyikan korban. Pengungkapan terjadinya perkosaan dimungkinkan ketika korban mendapatkan dukungan sosial politik dari lingkungannya. Ini biasanya terjadi pada korban kekerasan seksual dalam konflik. Perempuan-perempuan itu mendapatkan dukungan sosial politik dari lingkungannya untuk mengungkapkannya kekejaman seksual yang terjadi di suatu daerah konflik.
Kedua, pernyataan itu mengabaikan realitas bahwa perkosaan bisa terjadi di segala umur dari bayi 2 tahun sampai manula. Namun, kekerasan seksual pada remaja dianggap paling sulit untuk dipetakan justru karena sering muncul kecurigaan hubungan suka sama suka. Padahal sejatinya, kekerasan seksual seperti perkosaan hanya mungkin terjadi dalam format relasi kuasa yang timpang. Ketimpangan itu bisa beragam namun selalu memunculkan ancaman. Ancaman itu bisa fisik atau non fisik. Pada remaja, bentuknya bisa berupa desakan yang membingungkan korban. Misalnya ancaman “akan ditinggalkan”, atau desakan “ untuk membuktikan cinta”, atau tuntutan “ sejauhmana mau berkorban” dan seterusnya. Ancaman serupa itu sebetulnya bisa terjadi pada segara umur. Namun pada remaja ancaman serupa itu sungguh berat karena mereka tak selalu sanggup melihatnya sebagai ancaman. Pada usia itu dorongan untuk mengespresikan rasa cinta sedang menggebu-gebu. Situasi psikologis serupa itu bisa menyebabkan mereka masuk ke dalam perangkap kekerasan seksual di masa pacaran. Ujungnya adalah tindakan pemaksaan hubungan seks atau perkosaan, meskipun format hubungan mereka adalah sedang pacaran atau bersukaan.
Ketimpangan relasi antara pelaku dan korban bisa dalam bentuk kekuasaan ( political power), umur, ekonomi atau emosional. Kasus paling gampang dilihat adalah kekerasan yang terjadi dalam hubungan sedarah (inses): ayah, kakek, paman, abang terhadap anak, cucu, keponakan, adik kandungnya, atau majikan terhadap pembantu, atau guru terhadap muridnya. Dalam relasi serupa ini, ancaman itu tak selalu fisik, sebaliknya bahkan bisa ancaman emosional, rasa khawatir, kasihan, dan sejenisnya. Namun jelas sekali semua itu berpangkal dari ketimpangan relasi kuasa.
Persoalan ketiga, pernyataan itu abai terhadap perbedaan yang sangat mendasar dalam cara masyarakat mengkonstruksikan tentang “menjadi lelaki” dan “menjadi perempuan”. Remaja perempuan dan remaja lelaki ditumbuhkan dan dipersepsikan serta diharapkan untuk bertingkah laku secara berbeda. Remaja perempuan dididik untuk bersifat asertif, setia, manis, tabah, sabar, mencintai, sementara remaja lelaki didorong untuk agresif, maskulin, macho, berani ambil resiko dan berkuasa. Perkosaan, pada dasarnya tak semata-mata demi menumpahkan syahwat tapi juga sarana mewujudkan agresifitas. Karenanya sangat mungkin terjadi perkosaan berlangsung dalam kerangka pacaran justru karena bentukan sosial tentang eksistensi “menjadi perempuan” dan “menjadi lelaki” itu.
Persoalan keempat, pernyataan M Nuh itu mengeliminasi adanya pemaknaan yang berbeda antara remaja perempuan dan lelaki dalam mengekspresikan dan membuktikan perasaan cinta. Mendapatkan kasih sayang, merasa dilindungi , diperhatikan, dicintai, mencintai, pengorbanan merupakan aspek-aspek yang diidamkan perempuan dalam sebuah relasi, apalagi untuk remaja. Ini bisa berbeda dengan apa yang diharapkan oleh remaja lelaki.Bagi mereka berpacaran bisa untuk meningkatkan pergaulan, hura-hura, pamer kekuatan, menambah harga diri dan sarana penaklukan. Karena keduanya tak selalu punya definisi yang sama tentang pacaran maka tingkat kewaspadaan pada keduanya bisa berbeda.
Soal terakhir namun sering menjadi pokok masalah adalah adanya tuntutan yang berbeda kepada lelaki dan perempuan dalam mempertahankan “kesucian”. Karenanya begitu remaja perempuan menyadari apa yang telah terjadi – meskipun dilakukan dalam relasi suka sama suka, reaksinya bisa berbeda. Pada titik ini biasanya muncul kesadaran pada remaja perempuan bahwa apa yang telah terjadi merupakan suatu kekeliruan dan hubungan itu merupakan suatu pemaksaan atau perkosaan.
Inti dari argumen di atas itu adalah bahwa perkosaan bisa sangat mungkin terjadi dalam relasi suka sama suka disebabkan oleh cara pandang yang berbeda tentang arti hubungan seks. Namun kekeliruan dalam penangana perkosaan yang disebabkan kesalahan dalam cara berpikir tentang peristiwa itu menyebabkan korban mengalami penderitaan berlipat ganda. Argumen di atas memberi penjalasan mengapa pernyataan M. Nuh menuai protes. Pernyataan serupa itu didasarkan pada prasangka yang tak berdasar, terlebih tak berbasis pengetahuan tentang mengapa remaja perempuan retan terhadap perkosaan, sesuatu yang tidak pantas dikemukakan oleh petinggi negara se kelas menteri.